Pertanyaan: Bagaimana
cara memandikan jenazah itu? Dan bagaimana cara mengkafaninya?
Jawab:
Memandikan jenazah adalah fardhu
kifayah. Dan yang paling utama melakukannya, adalah seseorang yang sudah
diwasiati oleh si mayit untuk itu. Setelah itu kerabatnya yang terdekat,
kemudian siapa saja yang masih ada hubungan rahim dengannya.
Seorang
lelaki boleh memandikan istrinya, dan seorang istri boleh memandikan suaminya.
Wanita juga boleh memandikan anak kecil lelaki yang belum berumur tujuh tahun.
Dan seorang lelaki boleh memandikan perempuan kecil yang belum berumur tujuh
tahun.
Tetapi
seorang wanita tidak boleh memandikan lelaki, meski ia mahramnya sendiri. Dan
seorang lelaki tidak boleh memandikan wanita, meski wanita itu adalah ibu atau
putrinya, ia hanya boleh mentayamumi mereka dengan debu.
Seorang
muslim tidak boleh memandikan orang kafir, dan tidak pula mempersiapkan apapun
dalam kematiannya. Ia hanya boleh menimbunnya ke dalam tanah jika tidak ada
seorang kafirpun yang menguburnya.
Jika
kita hendak memandikan jenazah, maka jenazah itu harus ditutup auratnya jika
berumur lebih dari tujuh tahun. Yang ditutupi adalah daerah antara pusar hingga
lutut. Kemudian ia melepaskan seluruh bajunya, dan menutupinya dari pandangan
orang lain. Yakni jenazah itu diletakkan di dalam rumah yang beratap, atau jika
memungkinkan, jenazah tersebut dimandikan di dalam tenda.
Kemudian
wajah sang mayit kita tutup. Tidak boleh ada orang lain hadir dalam pemandian
ini, selain seseorang yang membantu kita dalam proses pemandian. Disini niat
adalah syarat. Sedang mengucapkan basmalah adalah suatu kewajiban. Setelah itu
kita mengangkat kepalanya hingga mendekati posisi duduk. Kita memijit perutnya
pelan-pelan, pada saat ini kita banyak-banyak menyiramkan air, juga perlu
mengasapi ruangan dengan kayu gaharu1 jika dikawatirkan ada sesuatu yang keluar dari perutnya.
Lalu
kita membelitkan kain ke tangan kita untuk membersihkan jenazah tadi dan
menggosok-gosok kedua kemaluannya. kita tidak boleh menyentuh aurat jenazah
yang sudah berumur tujuh tahun keatas kecuali dengan penghalang. Dan lebih
utama jika tidak menyentuh seluruh anggota tubuh lainnya kecuali dengan sarung
tangan atau kain yang dibelitkan ke tangan kita.
Setelah
itu, kita membelitkan sepotong kain pada kedua jari untuk membersihkan
gigi-gigi, dan kedua lobang hidungnya, tanpa memasukkan air ke dalam mulut atau
hidung. Kemudian kita membasuhi seluruh anggota wudhunya.
Kemudian
kita menyiapkan air yang bercampur daun bidara atau bercampur sabun pembersih.
Lalu kita membersihkan kepala, serta jenggotnya dengan busa air tersebut. Dan
membasuh sekujur tubuhnya dengan sisa air tadi. Kemudian kita membasuh bagian
samping kanan, lalu samping yang kiri, dimulai dari kulit lehernya. Kemudian
bahu hingga akhir telapak kakinya.
Lalu
kita membalikkannya sembari membasuh tubuhnya. Kita mengangkat sisi bagian
kanannya sambil membasuh punggung dan pantatnya. Lalu membasuh sisi bagian kiri
juga seperti itu. Kita tidak boleh menelungkupkan jenazah di atas wajahnya.
Setelah itu kita menyiramkan air ke sekujur tubuhnya.
Sedangkan
yang sunnah adalah mengulang tiga kali cara mandi seperti ini, memulai yang
kanan dari setiap sisi tubuhnya, dan terus mengurutkan tangan pada perutnya
pada setiap pemandian. Jika tiga kali pengurutan belum juga membersihkan perut,
maka kita tambah hingga perut itu benar-benar bersih, meski hal itu kita
lakukan hingga tujuh kali. Dan disunnahkan menghentikan pengurutan ini pada
bilangan yang ganjil.
Saat
memandikan, menggunakan air panas adalah sangat dimakruhkan. Demikian pula
dengan membersihkan sela-sela gigi dan menggunakan air dingin, kecuali saat
diperlukan.
Jika
wanita, maka kita mengelabang rambutnya menjadi tiga kali dan kita letakkan
pada bagian belakang kepalanya. Pada pemandian yang terakhir, kita mencampur
airnya dengan kapur barus dan daun bidara. Kecuali jika sang mayit dalam
keadaan ihram dengan ibadah haji atau umrah, maka hal itu tak perlu dilakukan.
Lalu
kita cukur kumisnya, dan kita potong kukunya jika panjang-panjang. Kemudian
kita handuki. Jika masih keluar sesuatu dari perut, padahal kita sudah mengurut
perutnya sebanyak tujuh kali, maka tempat keluar kotoran itu kita tutup dengan
kapas. Jika kapas tidak mempan, maka kita menggunakan tanah yang panas. Setelah
itu tempat keluarnya kotoran itu kita bersihkan dan kita wudhui lagi
jenazahnya.
Jika
jenazah yang kita mandikan adalah seseorang yang sedang ihram, maka kita
memandikannya tanpa minyak wangi dan tanpa harum-haruman. Tubuhnya dibersihkan
dengan sabun dan daun bidara jika perlu saja. Dan kepalanya tetap dibiarkan
terbuka.
Anak
yang gugur (lahir dalam keadaan mati) jika sudah berumur empat bulan, juga
orang-orang yang sulit dimandikan seperti yang mati terbakar dan yang hancur
lebur, maka ia hanya ditayammumi. Sedang orang yang memandikan, ia wajib
menutupi bagian tubuhnya yang buruk.
Mengkafani
jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah. Untuk kain kafan, kita mengutamakan
membelinya terlebih dahulu dari harta pribadinya, sebelum kita gunakan untuk
melunasi hutang dan tanggungannya yang lain. Jika si mayit tidak memiliki
harta, maka kita mengambil uang untuk membeli kain kafan itu dari orang yang
wajib menafkahinya, yaitu pada saat tak ada seorangpun yang berderma untuk
membelikan kain kafan buat si mayit.
Jenazah
seorang lelaki, dikafani dengan tiga lembar kain putih dari katun atau
semisalnya. Lalu sebagian kain itu dibentangkan atas sebagian yang lain. Dan
sebelumnya kain-kain itu sudah disemprot dengan air, kemudian diasapi dengan
semisal kayu gaharu.
Bagian
paling atas sendiri, kita taruh kain yang terbaik. Lalu kita menebar
harum-haruman diantara kain yang atas ini, dan memberi parfum pada setiap
lembar kain-kain tersebut2. Setelah itu si mayit diletakkan di atasnya, kita mengambil
sedikit harum-haruman lalu ditaruh pada kapas dan diletakkan diantara kedua
pantatnya. Kemudian kita mengikatnya dari atas dengan kain yang terbelah
ujungnya, seperti bentuk celana dalam, yang bisa mengikat erat antara dua
pantat dan kandung kemihnya.
Kemudian
harum-haruman yang masih tersisa kita letakkan pada setiap lobang yang ada pada
wajah dan anggota-anggota wudhunya. Jika kita mengharumi seluruh tubuhnya, maka
itu lebih baik.
Setelah
itu kain paling atas, yang ada di sebelah kanan mayit, ditutupkan pada bagian
kirinya. Dan kain yang disebelah kiri ditutupkan pada bagian kanannya. Kemudian
seperti itu pula kita lakukan pada kain kedua dan ketiga. Dan kita menjadikan
kain yang banyak lebihnya ada di bagian kepala. Lalu bagian tengah setiap kain
itu kita ikat. Ikatan itu baru dibuka kembali saat jenazah dimasukkan dalam
kuburan. Kita juga dibolehkan, jika mengkafani jenazah lelaki dengan baju,
sarung dan selembar kain.
Adapun
yang disunnahkan pada jenazah seorang wanita, ia harus dikafani dalam lima
kain. Sarung untuk menutupi aurat, kerudung untuk menutup kepala, baju gamis
yang dilobangi tengahnya untuk memasukkan kepala dari lobang tersebut, kemudian
dua lembar kain yang ukurannya seperti kain kafan jenazah lelaki.
Sedangkan
yang wajib untuk kafan jenazah laki-laki dan perempuan, adalah satu lembar kain
yang bisa menutupi seluruh tubuhnya.
******
Pertanyaan: Siapa
sajakah yang diwajibkan untuk mengurusi jenazah?
Jawab:
Kepengurusan jenazah diwajibkan atas
sanak kerabatnya. Adapun biaya kepengurusannya, seperti kain kafan,
wangi-wangian, upah penggalian kubur, upah penggotongan jenazah –jika yang
menggotongnya perlu dibayari-, demikian pula dengan upah orang yang memandikan,
maka ini semua diambil dari harta pribadi sang mayit. Ini lebih didahulukan
ketimbang membayar hutang dan membayar tanggungan lainnya.
Jika
si mayit tidak memiliki harta, maka wajib bagi orang yang diharuskan
menafkahinya untuk membayar semua biaya di atas. Tetapi jika ada seseorang yang
menyumbang untuk biaya kepengurusan jenazah tersebut, maka hal ini dibolehkan,
meski seandainya si mayit meninggalkan banyak harta yang melimpah.
Jika
sanak kerabat saling berselisih, setiap orang ingin menanggung kepengurusan,
pemandian, dan pengkafanan, maka didahulukan seseorang yang paling dekat
hubungan rahim terhadap sang mayit. Hal ini jika si mayit tidak meninggalkan
wasiyat kepada siapapun.
Tapi,
seandainya si mayit berwasiyat kepada seseorang tertentu, dia berkata misalnya,
“Tidak boleh memandikanku kecuali si fulan.” Maka si fulan yang diberi
wasiyat itulah yang berkewajiban memandikannya.
Namun,
jika si mayit tidak memberi wasiyat seperti yang diterangkan di atas, maka
lebih diutamakan yang paling dekat, dari ayahnya, kemudian putranya, kemudian
yang paling dekat, dan yang paling dekat. Allahu a`lam.
******
Pertanyaan: Lelaki
dan wanita manakah dari kerabat jenazah yang berhak memandikan jenazah, baik
jenazah itu laki-laki ataupun perempuan? Karena kami melihat beberapa lelaki
masuk ke tempat pemandian jenazah, tak peduli apakah itu jenazah lelaki,
perempuan, sanak kerabat, ataupun jenazah orang asing. Apakah tindakan seperti
ini dibenarkan?3
Jawab:
Jenazah lelaki hanya dimandikan oleh
kaum lelaki. Tetapi boleh bagi wanita untuk memandikan suaminya. Sedangkan
jenazah wanita, hanya dimandikan oleh kaum wanita. Tetapi boleh bagi seorang
lelaki untuk memandikan istrinya. Sebab dua orang suami istri, masing-masing
dari mereka boleh memandikan yang lainnya. Karena Ali bin Abi Thalib Radhiyallohu
‘anhu telah memandikan istrinya, yaitu Fatimah binti Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam4. Demikian pula dengan Asma` binti Umais Radhiyallohu
‘anha, ia telah memandikan suaminya, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallohu
‘anhu.5
Adapun
selain suami istri, maka tidak boleh bagi para wanita untuk memandikan kaum
lelaki, dan tidak boleh pula bagi kaum lelaki untuk memandikan kaum perempuan.
Setiap jenis kelamin hanya memandikan yang sama dengan jenisnya. Dan
masing-masing dari dua jenis ini tidak boleh melihat aurat yang lain. Kecuali
anak kecil yang belum tamyiz6, maka tidak mengapa untuk memandikannya, baik yang
memandikan itu kaum lelaki dan perempuan. Karena anak kecil itu tidak ada aurat
baginya.
******
Pertanyaan: Apakah
benar jika seorang wanita mengurus pemandian anak kecil lelaki di bawah umur
tujuh tahun?
Jawab:
Hal ini dibolehkan, karena anak
kecil lelaki tidak mempunyai aurat. Sebagaimana seorang ibu boleh mengurus
kebersihannya di waktu kecil. Sang ibu mencebokinya dan langsung menyentuh
kemaluannya padahal anak kecil itu hidup. Karena hal itu memang diperlukan.
Juga karena Ibrahim putra Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, ia
dimandikan oleh para wanita, seperti disebutkan para ulama fiqih dalam kitab
Al-Ahkam (pembahasan mengenai hukum-hukum)7.
Para
ulama fiqih juga menyebutkan bahwa perempuan kecil di bawah umur tujuh tahun,
kaum lelaki boleh mengurus pemandiannya. Boleh menyentuh auratnya dan langsung
melihat kemaluannya. Meski lebih diutamakan jika yang memandikannya adalah kaum
wanita. Tetapi kebutuhan mendesak, kadang-kadang mengharuskan kaum lelaki untuk
melakukannya. Allahu a`lam.
******
Pertanyaan: Apakah
perhiasan seorang wanita yang meninggal, wajib dilepaskan sebelum ia
dikuburkan?
Jawab:
Benar! Hal itu adalah wajib. Karena
melepas perhiasan tidaklah merusak badan sang wanita dan tidak pula berpengaruh
padanya. Maka untuk perhiasan yang ada di tangan, tidak ada pengaruh ketika
melepasnya. Demikian pula dengan perhiasan yang ada di lengan, telinga, dan
hidung. Semua perhiasan ini jika dilepas, tidaklah berpengaruh terhadap wanita
yang meninggal ini.
Karena
itu maka wajib melepas semua perhiasan itu darinya dan tidak dibiarkan terkubur
bersamanya. Sebab membiarkan perhiasan itu terkubur bersamanya, berarti kita
sama dengan menghancurkan harta. Padahal orang yang hidup lebih membutuhkan
perhiasan-perhiasan itu, seharusnya orang hidup itulah yang menjadi pemiliknya.
******
Pertanyaan: Jika
seorang jenazah dalam mulutnya terdapat gigi emas, apakah gigi itu diambil
sebelum ia dikubur, atau dibiarkan saja?
Jawab:
Jika mencabutnya memang mudah,
karena si mayit sewaktu hidup biasa mencabut gigi tersebut, juga dengan
mencabutnya ini tidak bakal merusak mulut atau berpengaruh padanya, maka harus
dilakukan adalah mencabut gigi emas itu darinya. Sebab gigi emas itu mempunyai
nilai, dan orang yang hidup lebih berhak untuk memilikinya.
Tetapi
jika dikawatirkan, seandainya gigi itu dicabut maka mulutnya terus terbuka,
atau membuat pemandangannya semakin menakutkan, maka yang paling baik adalah
menghindari pencabutan. Karena yang kita perhatikan, banyak dari para jenazah,
yang seandainya orang-orang yang memandikan itu membuka langit-langit mulutnya,
mereka tidak bisa menutupnya kembali, dan mulut itu tetap menganga.
Dan
yang serupa dengan mulut adalah mata. Karena sering kita perhatikan, jika mata
si mayit terbuka dan terus dibiarkan terbuka hingga meninggal dunia, maka mata
itu akan terus terbuka dan tidak bisa ditutup.
Berdasarkan
hal ini, maka sangat diharuskan bagi siapapun yang menghadiri saat-saat sekarat
seseorang, untuk segera memejamkan kedua matanya sebelum ia meninggal dunia,
atau saat meninggal dunia. Demikian pula ia harus menutup mulutnya, sehingga
mulut itu terus tertutup dan mata terus terpejam. Allahu a`lam.
******
Pertanyaan: Saat
memandikan jenazah, apakah kita disyariatkan untuk membersihkan kumis, bulu
ketiak, bulu kemaluan dan kuku-kukunya, ataukah kita membiarkannya begitu saja?
Jawab:
Saat memandikan jenazah, kita
disyariatkan membersihkan kumis, demikian pula dengan bulu ketiak, dan
kuku-kuku. Adapun rambut kemaluan, maka pendapat yang sahih, bahwa rambut itu
dibiarkan saja tidak diutak-atik karena ia adalah aurat. Dan aurat itu tidak boleh
disentuh setelah pemiliknya meninggal dunia. Bahkan tidak halal bagi kita untuk
menyentuh auratnya baik ia hidup atau mati.
******
Pertanyaan: Apa
yang kita lakukan terhadap bulu kumis, bulu ketiak, dan kuku yang diambil dari
orang mati?
Jawab:
Rambut dan kuku-kuku, dibungkus
bersama si mayit dalam sebuah tas kecil, atau bungkusan lainnya, kemudian
dikubur bersama si mayit. Dan boleh pula membuangnya di tanah bersama
sampah-sampah yang lain, sama seperti rambut orang hidup tanpa ada rasa jijik dan
lain sebagainya.
******
Pertanyaan: Ada
seorang lelaki meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Badannya terluka
sangat parah, seandainya dimandikan, air akan merusak seluruh tubuhnya. Maka
apa yang harus kami lakukan?
Jawab:
Jenazah ini dimandikan semampunya
saja. Jika air bisa disiramkan ke sekujur tubuh dan tidak berpengaruh padanya,
maka kita harus menyiramkan air ke tubuhnya tanpa menggosok-gosok. Tetapi jika
sang jenazah keluar otaknya, ususnya terburai, atau potongan dagingnya kocar-kocir,
maka disini kita hanya memandikan bagian tubuh yang bisa dimandikan, sedang
yang lain cukup diusap saja.
******
Pertanyaan: Saat
memandikan anak kecil, apakah kita wajib menutup auratnya atau tidak?
Jawab:
Anak kecil yang berumur di bawah
tujuh tahun, ia tidak memiliki aurat baik laki-laki atau perempuan. Karena itu
kita tidak wajib menutupi sesuatupun dari anggota tubuhnya saat memandikan.
Tetapi jika jenazah itu lebih dari tujuh tahun, maka kita wajib menutupi
anggotanya yang diantara pusar hingga lutut.
******
Pertanyaan: Bolehkah
kita mengkafani mayit dengan selain kain putih?
Jawab:
Boleh, tetapi yang lebih baik adalah
mengkafaninya dengan kain putih. Karena disebutkan dalam sunan Abi Dawud bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((اِلْبَسُوا مِنْ
ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا
مَوْتَاكُمْ))8
“Pakailah untuk baju kalian
kain-kain yang putih, karena kain putih adalah sebaik-baik baju kalian, dan
kafanilah dengannya orang-orang yang mati dari kalian.”
******
Pertanyaan: Berapakah
jumlah tali yang kita ikatkan pada kafan sang mayit?
Jawab:
Yang disebutkan dalam sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam sebanyak tujuh ikatan. Sudah masuk padanya ikatan pada
kepala dan ikatan pada kedua kaki. Tetapi ikatan ini boleh lebih dari itu
sesuai dengan kebutuhan.
******
Pertanyaan: Ada
seorang muslim yang membunuh muslim lainnya, kemudian sang muslim pembunuh ini
diberi hukuman bunuh juga. Pertanyaan kami, apakah muslim yang pembunuh ini
jika sudah dibunuh, ia harus dimandikan dan dishalati?
Jawab:
Benar, ia harus dimandikan dan
dishalati. Sebab ia tidak keluar dari lingkaran agama Islam.
******
Pertanyaan: Apakah
seseorang yang bunuh diri harus dimandikan dan dishalati?9
Jawab:
Seseorang yang bunuh diri, ia tetap
dimandikan, dishalati, dan dikubur di pekuburan kaum muslimin. Karena ia hanya
berbuat maksiat dan tidak kafir. Sebab bunuh diri hanyalah sebuah kemaksiatan
bukan suatu kekafiran. Maka, jika ada seseorang yang melakukan bunuh diri
–mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dari perbuatan
ini-, ia tetap dimandikan, dishalati, dan dikafani.
Tetapi
wajib bagi pemimpin tertinggi, dan orang-orang yang mempunyai jabatan penting,
untuk tidak menyalatinya. Karena ini sebagai bentuk pengingkaran dari mereka,
sehingga tidak ada seorangpun yang menduga bahwa para petinggi itu meridhai
perbuatan bunuh diri tersebut.
Jadi!
Seorang pemimpin Negara, sultan, hakim, gubernur, atau bupati, jika mereka
tidak menyalati pelaku bunuh diri, sebagai bentuk pengingkaran dan
pemberitahuan kepada para manusia bahwa ini adalah perbuatan yang salah, maka
ini baik sekali. Tetapi kaum muslimin lainnya tetap harus menyalati pelaku
bunuh diri itu.
******
Pertanyaan: Saya
telah memandikan jenazah, tetapi saya tidak mandi setalah itu. Kemudian saya
mengerjakan banyak shalat. Apakah saya berdosa dalam hal ini?
Jawab:
Mengenai memandikan jenazah, ada
sebuah hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan sanad yang
sahih, yaitu sabda beliau yang berbunyi,
((مَنْ غَسَّلَ مَيِّتاً فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ
فَلْيَتَوَضَّأْ))10
“Barangsiapa memandikan orang mati,
maka hendaklah ia mandi. Sedangkan siapapun yang menggotongnya maka hendaknya
ia berwudhu.”
Hadits
ini didhaifkan oleh kebanyakan para ulama`. Sedangkan ulama lainnya
mensahihkannya, dan sebagian ulama yang lain memilih berhenti (tawaqquf) pada
matannya.
Para
ulama yang memilih tawaqquf ini berkata, “Apa yang membuat kita harus mandi,
karena orang yang memandikan jenazah tidak melakukan perbuatan apapun yang
mengharuskannya mandi.” Sebab itulah mereka memilih untuk tawaqquf pada
matannya.
Adapun
para ulama yang mensahihkan hadits ini mereka meyakini bahwa mandi disini
adalah hal yang mustahab. Jadi mereka mengatakan, “Sesungguhnya mandi adalah
mustahab bagi orang yang memandikan mayit.”
Sedangkan
sebagian ulama yang lain, mewajibkan berwudhu bagi orang yang memandikan, jika
ternyata ia tidak mandi. Maka mereka berkata, “Mandi hanyalah sunnah
muakkadah, tetapi jika tidak mandi maka ia wajib berwudhu, wudhu inilah
kewajiban yang paling sedikit atasnya.”
******
Pertanyaan: Jika
saya membawa jenazah, apakah saya wajib berwudhu atau tidak?
Jawab:
Mengenai berwudhu bagi seseorang
yang membawa mayit, ada sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam yang berbunyi,
((مَنْ غَسَّلَ
مَيِّتاً فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ))11
“Barangsiapa memandikan orang mati,
maka hendaklah ia mandi. Sedangkan siapapun yang menggotongnya maka hendaknya
ia berwudhu.”
Barangkali
maksud hadits di atas, khusus buat orang yang mendekapnya bukan orang yang
membawa jenazah dalam keranda. Sehingga, ketika Abdullah bin Abbas Radhiyallohu
‘anha dan Abdullah bin Umar Radhiyallohu ‘anha membawa jenazah dalam
keranda, kemudian dikatakan kepada mereka, “Berwudhulah!”, keduanya
menjawab,
((مَا أَتَوَضَّأُ مِنْ حَمْلِ خَشَبَةٍ))
“Saya tidak perlu berwudhu hanya
karena membawa kayu.”
Maksudnya,
mereka tidak membawa apapun selain hanya kayu, dan tidak menyentuh apapun
selain kayu belaka. Adapun seseorang yang mendekap jenazah yang sudah
meninggal, yang bisa jadi dalam keadaan tanpa busana, atau mirip tanpa busana,
maka hendaklah ia berwudhu berdasarkan pada hadits di atas.
Dinukil dari al-Muqorrib li
Ahkaamil Jana`iz : 148 Fatawa fil Jana`iz, penyusun : ‘Abdul ‘Aziz bin
Muhammad al-‘Arifi, dimuroja’ah oleh : ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin,
Penerbit : Dar ath-Thayibah, Riyadh, 1418 H/1997 M.
1
Yaitu kayu yang harum baunya, yang dibakar di atas arang. Setelah terbakar
asapnya akan mengeluarkan keharuman yang semerbak kemana-mana.
2
Maksudnya kain-kain yang dibawahnya juga diberi parfum. Allahu a`lam.
3
Shalih Al-Fauzan, Al-Muntaqa, 1/78
4
Lihat, Al-Mushannaf fi Al-Ahaadits wa Al-Aatsaar karya Ibnu Abi Syaibah,
2/455, 456; juga Al-Mushannaf karya Abdurrazzaq Ash-Shan`ani, 3/408-411.
hadits ini dihukumi hasan oleh Al-Albani. Lihat pula, Irwa` Al-Ghalil,
3/162
5
Lihat, Al-Mushannaf fi Al-Ahaadits wa Al-Aatsaar karya Ibnu Abi Syaibah,
2/455, 456; juga Al-Mushannaf karya Abdurrazzaq Ash-Shan`ani, 3/408-411.
6 Di
bawah umur tujuh tahun, belum baligh dan belum bisa membedakan mana yang benar
dan mana yang buruk.
7
Lihat, Manar As-Sabiil, 1/166
8
HR. Abu Dawud, 2/176 dan At-Tirmidzi, 2/132
9
Syaikh Abdullah bin Baaz, Fatawa Islamiyyah, 2/62
10
HR. Abu Dawud, 2/62-63; At-Tirmidzi, 2/132, beliau menghukuminya hasan. Juga
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ath-Thayalisi, dan Imam Ahmad, 2/80, 433, 454,
472. Hadits ini dihukumi sahih oleh Al-Albani.
11
HR. Abu Dawud, 2/62-63; At-Tirmidzi, 2/132, beliau menghukuminya hasan. Juga
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ath-Thayalisi, dan Imam Ahmad, 2/80, 433, 454,
472. Hadits ini dihukumi sahih oleh Al-Albani.